Senin, 19 Februari 2024

Bike Camp - Pantai Dungun Laut, Jawai-Kab.Sambas [Kalimantan Barat-INDONESIA]


Lokasi Pantai Dungun Laut : https://maps.app.goo.gl/hsXNgtET5t8R13jX7


Perjalanan dari Pontianak menggunakan bis malam. Tiba di Pemangkat sekitar jam 5 subuh. Lanjut naik kapal menyeberang dari dermaga Penjajap di Pemangkat menuju dermaga Sungai Batang di Jawai dengan harga tiket Rp 7.000,-.
Bersepeda dari dermaga Sungai Batang menuju Pantai Dungun Laut sambil melintasi tepian pantai (dimulai dari Pantai Batu Lapak-Pantai Putri Serayi-Pantai Wisata Bahari) sejauh kurang lebih 11,8 KM.

Pantai Dungun Laut adalah pantai yang sepi, kebutuhan makan lebih baik dibawa terlebih dahulu atau bisa pergi belanja ke beberapa warung di Desa Dungun ataupun di Pasar Sentebang (berjarak 3KM dari pantai Dungun Laut). Cuma ada dua warung di tepi pantai Dungun, camping bisa dilakukan di halaman warung ataupun di area lainnya. Tidak perlu ada izin resmi kepada otoritas setempat, tapi kalau mau pemberitahuan cukup kepada kepala dusun saja.

Perjalanan pulang melalui dermaga penyeberangan Perigi Piyai menyeberang ke dermaga Kuala Tebas. Lanjut bersepeda dari Tebas hingga ke Singkawang.





















#bikecamp
#bikecamping
#pantai
#sepeda
#sepedagunung
#jawai
#sambas
#pantai
#dungunlaut

Jumat, 03 Maret 2023

Review : CRUSHED - Extra Life

Seringkali ada banyak keluhan mengenai logika algoritma berbagai macam layanan streaming musik digital dalam menawarkan musik bagi para penggunanya. Ya memang betul, selera musik semestinya tidak bisa di otomasi begitu saja. Ada pengalaman pribadi, ada interaksi dengan kenyataan hidup dan segala dinamika dari lingkungan sekitar, ada relasi antar manusia, yang semuanya bisa memberi pengaruh pada bagaimana kita memutuskan untuk mendengarkan musik dan menyukainya. Tapi mau bagaimana sekarang? Kita semua sudah menjadi pengguna rutin layanan - layanan streaming musik digital tersebut, sebut saja Spotify dan Youtube sebagai yang paling utama. Bayangkan beberapa tahun lalu Youtube booming menampilkan berbagai macam tayangan audiovisual yang digadang - gadang akan segera menggantikan tayangan televisi (ingat kalimat "Youtube lebih dari TV"?). Namun sekarang Youtube bahkan sudah menjadi sarana untuk mendengarkan musik (aku tidak sedang membicarakan Youtube Music disini). Coba lihat berapa banyak cafe/warung kopi yang memutar playlist musik hasil rangkuman bermacam channel Youtube yang bahkan tidak pernah kita kenal siapa manusia yang ada dibelakangnya. 


Bagiku sendiri, kemajuan teknologi bukan sesuatu yang harus kita tolak mentah - mentah apalagi dengan rasa takut dan anti. Aku sudah tidak peduli berapa banyak band/musisi yang masih akan tetap merilis rilisan fisik untuk album mereka dan berapa banyak juga pendengar musik yang masih tertarik membelinya. Sementara aku sendiri sebagai pembeli rilisan fisik, seringkali mengandalkan layanan streaming musik digital untuk mendengarkan band/musisi favorit walaupun aku sudah membeli rilisan fisiknya. Tapi apakah aku harus memilih salah satunya? Kalau bisa dua kenapa harus satu, kalau kita bisa dapat banyak pilihan sekaligus ya kenapa tidak?


Introduksi panjang diatas sebenarnya hanya pengantar untuk kabar berita berikut yang akan kusampaikan. Jadi berkat algoritma Youtube yang menawarkan video - video terbaru di beranda, akhirnya aku bertemu dengan sebuah band keren yang berhasil memenuhi fantasi dan ketertarikanku pada musik yang khas berkarakter tahun 90an. 

crushed dari kiri ke kanan : Shaun Durkan ; Bre Morell

CRUSHED adalah duo dream pop/alternative/electronic dari Los Angeles-USA. Mereka awalnya adalah dua orang yang terpisah di dua kota (Los Angeles dan Portland) dan mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Bahkan mereka juga tidak bertemu secara fisik hingga mereka sudah memutuskan untuk memulai sebuah proyek musik bersama dan menciptakan beberapa lagu[1]. Yups proyek musik online itu memang sesuatu yang sangat mungkin sekarang. Aku jadi teringat sesuatu, kebetulan ketika tulisan ini dibuat adalah tanggal 4 Maret 2023. Di tanggal yang sama tiga tahun lalu seluruh dunia sedang gempar dengan serangan virus Corona. Seketika hidup kita berubah, beberapa aktvitias terpaksa dihentikan dan beberapa yang lain harus dilaksanakan dari dalam rumah. Interaksi sosial secara fisik mendadak dibatasi dan berganti menjadi interaksi melalui berbagai saluran online. Dunia musik pun tak bisa mengelak perubahan tersebut dimana seketika konser online, live session baik yang pre-recorded ataupun live streaming, podcast - podcast semua bermunculan. Perdebatan pun muncul, antara yang merasa nyaman dan tak nyaman, antara yang pro dan kontra. Yang jelas, perubahan sudah terjadi bahkan hingga kini ketika semua kisah kelam pandemi itu hampir terlupakan.

Kembali ke CRUSHED, apa yang spesial dari musik mereka adalah bagaimana mereka bisa menghadirkan nuansa gelap dalam membalut lirik - lirik romantis yang berisi perasaan kebahagiaan. Mereka juga menambahkan banyak sample suara dari video game, baik itu dalam bentuk dialog ataupun bebunyian. Sample tersebut diletakkan dibelakang bunyi gitar dengan drive tipis dan sedikit reverb serta suara vokal yang teduh sendu namun tak seperti malu-malu. Dan apa yang membuatku jatuh hati juga dengan musik mereka adalah pola ketukan drum nya yang bagiku sangat khas musik 90an.

Sebagai pendatang baru mungkin banyak yang masih bisa diharapkan dari musik CRUSHED kedepannya. Atau bisa jadi juga mereka segera hanyut dan tenggelam oleh berbagai proyek musik baru lainnya yang akan hadir besok, lusa, minggu depan, atau bahkan beberapa menit setelah ini. Tapi yang pasti CRUSHED cukup membawa sesuatu yang segar bagiku saat ini sebagai soundtrack manis mengiringi akhir pekan yang mendung.




Referensi :

Kamis, 22 September 2022

LULLAVILE, Unheared sihhhh tapi tau-tau udah bikin album yang keren


Aku gak tahu kapan dan bagaimana awal mula kemunculan band dream pop /shoegaze di Kalimantan Barat. Aku sempat diajak Ngab Roi (the man behind the label Dirtwave Rekods) untuk ngejamm karya shoegaze yang dia buat sekitar tahun 2016/2017, tapi itu sekedar ngejamm doang. Lalu muncullah nama - nama seperti Bee On Vacation, VIEVV, dan Take It Easy semuanya diantara tahun 2018/2019 hingga 2020. Nah, LULLAVILLE sendiri aku dengar pertama kali di tahun 2021, dikala pandemi, dan termasuk yang paling terakhir dari semua nama yang disebutkan diatas tadi. Single "Bianca" sangat segar sekali, aku lebih banyak menangkap nuansa garage rock dibanding dreampop saat itu, tapi sadar bahwa ada nuansa mengawang - awang disana.

Beberapa panggung dan perjumpaan penuh tawa bual setelah pertama kali mendengar single Bianca tersebut, akhirnya CD EP Lullavile ada di tanganku. Mereka memberi judul EP ini "Unheared", apakah ini sebuah refleksi atas keadaan atau justru sebuah doa supaya gak bakal didengarin siapapun?? Hayoo.

Secara musikalitas, LULLAVILE cocok untuk kalian penggemar musik pop mengawang - awang khususnya jika kalian sedang digging talenta dari luar pulau jawa. Produksi musik yang bagus banget, khususnya bunyi suara drum yang bulet bulet tapi masih terdengar manusiawi, ternyata hasil rekayasa dari sebuah drum elektrik seri menengah. Keseluruhan album ini dimixing dan mastering di Babaace Studio, kita mengenal studio tersebut justru markas dari band - band yang lebih berdistorsi seperti Pistol For Moms(pop punk) dan juga Nevertheless(melodic hardcore). Ternyata tangan dingin Babace Studio ajaib juga di album ini. Dan yang paling terakhir adalah, rilis album LULLAVILE ini seperti mewakili bibit antah berantah yang tau - tau muncul padahal sebelumnya tidak atau jarang berseliweran di panggung - panggung musik Pontianak. LULLAVILE merilis album keren dan semoga aja mendapat perhatian yang cukup supaya kalian minimal kaget - kaget tipis lah yaa. Selain itu juga menandai kelahiran sebuah record label baru di kota Pontianak yang bernama DIRTWAVE REKODS. Kolaborasi Dirtwave dan Lullavile menghasilkan eksekusi yang paten pada kemasan fisik EP Unheared ini. Cakram padat dengan style vinyl didalam sebuah kotak mika dibalut dengan sleeve yang bergaya desain jejepangan.

CD Unheared dari Lullavile sudah bisa didapatkan sejak tulisan ini terbit dan juga bisa didengarkan secara digital di platform musik yang itu - itu aja.

Cek aja di instagram :

@lulla_vile

@dirtwave.rekods



MAIR dan REBELLIOUS EP

 


MAIR adalah sebuah band punk hardcore dari Pontianak yang diisi oleh orang - orang yang sudah cukup lama aktif di skena ini. Seingat ku pertama kali lagu PUSH ME DOWN aku dengar di album kompilasi RECORD STORE DAY PONTIANAK 2018. Dan sejak saat itu sepertinya belum pernah sama sekali menonton mereka tampil secara langsung. Sejak tahun 2018 mereka sudah pernah mengeluarkan tiga buah single, salah satunya single BERTAHAN juga dibuatkan sebuah video klip yang bagiku agak kaku sih hasil akhirnya, hehehe. Oiya, sejak mendengar lagu PUSH ME DOWN sebenarnya sudah ada rasa tertarik sekaligus penasaran mengenai musik hardcore seperti apa yang mau ditampilkan oleh Bow, Ozy, Eza, Yosi keempat personil saat itu (saat ini Yosi digantikan Rendy, dan mereka menambah satu gitaris yaitu Hendra). Ada nuansa hardcore punk yang singkat, padat, dan cepat yang mau ditampilkan, tapi riff - riff gitar dan juga sound gitar yang dimainkan oleh Bow sebenarnya masih memiliki warna seperti yang pernah dia mainkan di Fight For Free. Hal menarik lainnya adalah ketukan drum Ozy menggunakan style dan pendekatan yang sangat Punk!!!, namun tidak menghilangkan beat - beat catchy yang two step-able, serta tidak lupa fill in yang bagi aku out of the box (nanti kita bahas satu per satu).

Album MAIR berjudul Rebellious, adalah sebuah rilisan berisi 11 lagu. Namun jangan bayangkan kita akan dihajar dengan gempuran distorsi, teriakan vokal, dan ketukan drum yang cepat dari track satu hingga sebelas ya!! MAIR menyisipkan empat buah track musik dansa elektronika diawal, ditengah, dan diakhir album. Keempat track EDM tersebut hasil karya dari dua orang DJ, Dubsuck dan juga DJ Boo. Hingga saat ini sudah berulang kali aku mendengar keseluruhan album Rebellious dari awal hingga akhir, dan sejujurnya masih sulit menerima apa kegunaan track EDM sebanyak itu diantara lagu - lagu hardcore punk. Mungkin teman - teman MAIR ingin memberikan kesan mendengarkan album seperti yang dirasakan oleh pengguna Spotify gratisan ketika mendengar sebuah album melalui website open(dot)spotify(com). Empat buah track EDM tersebut bagaikan pemecah ketegangan dan emosi yang sudah terbangun melalui lagu - lagu hardcore punk. Perasaan yang dihasilkan oleh keempat track EDM tersebut bisa saja nyaman, bisa saja tidak, tergantung kalian sih, tapi kalau terlalu mengganggu ya tinggal tekan tombol next saja, inilah keuntungan pemutar musik digital!

Oke sebelum kita membahas satu per satu (atau mungkin tidak perlu semuanya) lagu dari MAIR, pertama - tama ketika mendengarkan album mereka di bandcamp, perhatianku langsung tertuju kepada artwork cover album yang keren sekali!!! Warna kuning sebagai warna dasar betul - betul pemilihan yang pas agar setiap yang mendengarkan album mereka penglihatannya langsung fokus hanya ke halaman album Rebellious saja bukannya mendengarkan album Rebellious tapi sambil browsing di tab browser yang lainnya. Artwork album ini dikerjakan oleh Franco Rahadian, seorang vokalis asal Solo yang berteriak di beberapa band seperti Gerbang Singa dan juga Warthole. Kalimat pertama yang terufap didalam benak begitu melihat artwork cover album ini adalah "Ini yang bikin pasti seorang true oldschool soul!!!". Yang aku tahu mas Franco ini memang berteman jarak jauh cukup baik dengan Bow, Franco yang mengerjakan artwork album terakhir Fight For Free dan doi juga mengisi suara di salah satu lagu dalam album tersebut. Didalam artwork tersebut ada seseorang yang wajahnya ditutup kain itam ala - ala blackbloc, ditangannya teracung sebuah palu besar yang siap dihantam ke sebuah bola dunia yang terikat kawat duri. Lalu dibelakangnya ada sebuah tembok bata yang retak dan ada tulisan empat buah kata : pain, violence, hate, tyrant. Untuk Mas Franco, great job!!!!!

More Than One Side
Oke, aku masih sangat menikmati track elektronik yang pertama ini. Sebuah lagu dengan beat khas hip hop era boombap yang dipadukan dengan bass line statis hampir disepanjang lagu. Nuansa dark namun chill terasa disini, serasa menghantarkan kita untuk bersiap dalam sebuah perjalanan penuh pembangkangan terhadap norma, budaya, sistem, dan aturan. Oke cukup, next!

Rebellious
Sebuah lagu instrumental dimana sejak awal lagu MAIR sudah menunjukkan salah satu poin plus dari album ini, penempatan bunyi instrumen pada posisi kiri dan kanan yang mantap. Selain itu aku juga ngerasa 

Tak Terhenti
Singkat padat dan cepat, 20 detik yang tak sia - sia dan sangat efektif untuk meneriakkan "Raga ini tetap melawan! Tak akan tunduk! Kami tak terhenti!

Push Me Down
Aku mengapresiasi kecerdasan temanku sendiri dalam memainkan beat - beat drum yang groovy diluar kebiasaan. Diawal lagu saja aku sudah tersenyum dengan kombinasi snare-kick-tom yang berbunyi "Tak Gendung Deg Tash!". MAIR merangkul Erick Boyd disini yang memberikan sumbangsih selengean yang khas ala suara high pitch nya doi. 

Unity
Judul lagunya sih terlalu generik hace banget yaaa, hahahaha. Kalian pikir akan banyak part sing along dan breakdown serta two step di lagu ini? Maaf anda salah besar! Track ini hanya semacam selingat telinga yang mengalihkan distorsi gitar kepada beat musik elektronik, ya udah skip kalo aku sih.

Tak Kan Habis
Entah siapa otak dibalik komposisi lagu yang ciamik di MAIR ini, Bow dan Oji? Aku rasa seluruh personil deh. Kecerdasan menyusun komposisi lagu hardcore yang bertempo cepat, durasi cenderung singkat, tapi part-part yang ngebut dan nge groove bisa diblend semua didalamnya.

Break The Chain
Lewat lagu ini MAIR membuktikan mampu membuat komposisi lagu yang ciamik dengan bagian solo gitar diakhir lagu menghasilkan nuansa yang sangat megah untuk sebuah lagu dengan lirik yang sejujurnya masih standar hardcore doang. Shout out untuk Iim Runner atas melodi gitar di lagu ini!!!

Prayless And Dies On Lies
Sori buda, aku masih nda bise nikmatin sampe ade dua track elektronik sebagai jeda istirahat telingat di dalam satu susunan lagu - lagu hardcore.

Bertahan
Kehadiran Teguh(ex-vokalis Fight For Free) di lagu ini sebenarnya sesuatu yang biasa saja disaat lagu ini rilis sebagai sebuah single di tahun 2017. Teguh berbagi bait lirik dengan Rendi vokalis MAIR, dan menempatkan Teguh pada baik terakhir dimana nuansa lagu semakin memuncah amarahnya adalah pilihan yang tepat. 

From The Ashes
Haduh, tige track elektronik rupenye budaaaa, sori ye aku sip yee hehehehe

Pontianak Punk
Versi cover dari Jerones 343, sebuah lagu anthem yang akan selalu memantik moshpit yang super chaos dan juga nyanyian berjamaah "Takkan pernah mati, Pontianak Punk!". MAIR mengeksekusi lagu ini dengan baik, sepertinya tempo sedikit dinaikkan, hasilnya jadi jauh berbeda, NICE!!!



MENYIKAPI PELECEHAN SEKSUAL DI SKENA UNDERGROUND PONTIANAK

"Kalau kita bisa begitu marah dengan sebuah pendapat pribadi dari seorang seniman yang mengatakan bahwa underground itu kere, bagaimana mungkin kita hanya adem ayem saja dengan sebuah laporan mengenai pelecehan seksual di skena kita?????"

  

Minggu (14 September 2022) siang aku mendapat kiriman screenshot instagram story dari akun @kuburaya_metalheads yang berisi laporan dari salah seorang penonton gigs atas pelecehan seksual yang dia alami saat menonton gigs. Gigs yang dimaksud adalah gigs bertajuk "KUBU GRINDER" yang diselenggarakan pada 10 September di Coffee House, Jl.Sungai Raya Dalam-Pontianak. Akun @kuburaya_metalheads sendiri adalah akun panitia penyelenggara gigs tersebut

Aku pribadi memberi apresiasi pada panitia karena sudah terbuka atas kejadian ini. Melalui percakapan yang kulakukan bersama admin akun instagram tersebut, aku juga melihat panitia mau mendengar dan menerima pelapor (bagiku dalam hal ini si pelapor adalah korban pelecehan seksual). Akan tetapi aku merasa janggal dan jujur saja tidak puas dengan pernyataan dari panitia yang tertulis di bagian bawah instagram story tersebut. Hanya meminta teman - teman perempuan untuk berhati - hati saat menonton gigs itu tidak ada bedanya seperti melarang perempuan untuk keluar rumah di malam hari karena bahaya yang sama menghadapi pelecehan seksual ataupun tindakan kriminal lainnya.

Yang kita impikan dan terus kita perjuangkan tentulah sebuah keadaan yang aman dan nyaman bagi semua orang. Begitu juga didalam sebuah gigs musik, semua orang tanpa peduli apapun ekspresi gender nya (perempuan/laki-laki/trans/non) memiliki hak untuk merasa aman dan nyaman saat menghadiri dan menonton gigs musik. Hati - hati ya tentu saja hati - hati, kita semua juga selalu berhati - hati sejak bangun tidur di pagi hari. Tapi tindakan - tindakan kriminal apalagi dalam konteks pembicaraan kita ini adalah pelecehan seksual, itu terjadi bukan karena kebetulan, ada sistem yang membentuknya, ada kesenjangan kelas yang menjadi latar belakangnya. Dan orang - orang yang melakukan pelecehan seksual itu harus dihentikan, tidak cukup hanya dipersulit ruang gerak aksinya dengan menyuruh calon korban untuk berhati - hati.

Hal lain sangat tidak diakomodir dalam pernyataan panitia adalah, tidak ada kecaman terhadap aksi pelecehan seksual, tidak ada kecaman terbuka terhadap pelaku. Hal ini sangat penting!

Jika kita sungguh-sungguh ingin membentuk skena dan khususnya gigs sebagai ruang yang aman dan nyaman tanpa pelecehan seksual, maka sudah semestinya tidak ada ruang bagi pelaku. Jika memang begitu sulit untuk menemukan pelaku (mungkin jika karena suasana moshpit begitu ramai dan chaos, atau karena permintaan korban sendiri), maka paling minimal kita harus menyerukan dan menyebarkan kecaman terhadap pelaku. Mungkin dia akan tidak perduli, tapi seruan yang kita buat akan membuat isu ini membesar dan menjadi perhatian bersama. Tujuannya untuk mencegah hal ini terulang kembali dan membangkitkan kewaspadaan semua yang terlibat di skena underground ataupun gigs.

Jika kita memang memiliki keseriusan dalam menanggapi hal ini, maka ada baiknya langkah awal yang harus ditempuh adalah membuat diri kita terpapar informasi dan edukasi yang benar mengenai pelecehan seksual. Pada saat tulisan ini dibuat, di Indonesia sudah ada sebuah payung hukum untuk mencegah/menangani tindak pidana kekerasan seksual yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Payung hukum tersebut juga sudah bisa menjadi bacaan yang baik untuk memahami apa itu pelecehan seksual, selain tentu saja akan lebih baik lagi jika kita membaca berbagai tulisan lainnya untuk memperjelas. Sebagai contoh aku mengutip dari salah satu artikel di Kompas.com disebutkan bahwa pelecehan seksual adalah segala perlakuan tidak menyenangkan yang mengarah pada hal-hal yang berbau seksual. Dilanjutkan dalam artikel tersebut bahwa contoh perilaku yang termasuk sebagai pelecehan antara lain:

- Menyentuh, memeluk, atau mencium tanpa izin

- Memberikan tatapan bernafsu dan mencurigakan

- Mengeluarkan sebutan, candaan, atau perkataan yang mengarah ke hal-hal seksual, seperti cat calling atau menggoda orang lewat dengan sebutan tak pantas

- Paksaan untuk menerima ajakan kencan atau berhubungan seksual

- Mengajukan pertanyaan tidak pantas tentang kehidupan pribadi bahkan anggota tubuh yang bersifat personal

- Perilaku “sok akrab” dan merasa berhak menyentuh bagian-bagian tubuh orang lain tanpa izin

- Mengirim foto, video atau gambar seksual tanpa diminta

- Memberikan komentar tidak pantas di sosial media

- Stalking atau menguntit

- Terus memaksa untuk berkomunikasi meski sudah ditolak

Dari apa yang aku kutip diatas saja sudah bisa kita sepakai bahwa apa yang dilaporkan oleh seorang penonton di gigs Kubu Grinder adalah termasuk dalam aksi pelecehan seksual, karena ada seorang penonton lainnya yang memanfaatkan kesempatan saling merangkul saat headbang untuk meraba bagian tubuh yang tidak diperkenankan oleh pelapor. Aku kira tidak terlalu sulit untuk memahami ini jika teman - teman memahami apa itu batasan dan bisa mengenali apa itu intensi/tujuan kita sesungguhnya. Misalnya mengenai batasan, dalam bersalaman sentuhan fisik antar kedua telapak tangan adalah hal yang sama - sama disepakatai oleh dua pihak yang berjabat tangan akan tetapi jika salah satu jari telunjuk orang yang berjabat tangan digerak-gerakkan untuk menggelitik telapak tangan orang yang berajabat tangan dengannya maka itu sudah melewati batasan yang disepakati. Dan misalnya dalam konteks aktivitas moshpit/pogo/headbang yang berarti sebuah rangkaian gerak tubuh dalam menikmati musik. Apa sebenarnya tujuan kita dalam melakukan hal tersebut? Jelas untuk mengekspresikan diri kita pada saat menikmati musik, bisa disepakati??? Sangat mungkin terjadi tabrakan ataupun sekedar sentuhan fisik diantara beberapa orang yang melakukan hal tersebut, karena pada dasarnya semua sedang asik dengan aktivitasnya masing - masing. Tapi jika ada satu telapak tangan yang bisa menyentuh/menggenggam/mengelus bagian tubuh orang lain misalnya payudara, maka ini bukan sentuhan fisik yang tidak disengaja. Sekali lagi koreksi diri sendiri dan pertanyakan tujuan mu!!!!

Ada begitu banyak tindakan yang terkategori sebagai pelecehan seksual/kekerasan seksual baik itu offline maupun onine.(Online?? Iya betul, ada yang namanuya Kekerasan Berbasis Gender Online atau disingkat KBGO, materi mengenai ini aku sertakan diakhir tulisan). Ini bukan sebagai alarm bahaya untuk kita takut. Justru dengan informasi seperti ini bisa menjadi panduan bagi kita untuk lebih menghargai sesama lagi, siapapun kalian dan dengan siapapun kalian berinteraksi. Untuk menghargai sesama manusia dalam derajat yang sama, bukankah hal ini selalu diulang - ulang dalam berbagai lirik lagu band - band underground??? Apakah itu sekedar slogan ataukah itu adalah kata - kata yang sungguh kita hidupi?? Aku akan ulangi sekali lagi, jika kita bisa bereaksi dengan spontan ketika ada yang mengatakan underground itu kere, punk itu kriminal, ataupun anak metal itu pemuja setan, apakah terlalu sulit bagi kita untuk marah saat ada pelaku pelecehan seksual di dalam skena underground ini?? Kamu, aku, atau siapapun, baik itu laki-laki, perempuan, transgender, non-biner, semua bisa saja jadi korban pelecehan seksual. Dan semua juga sangat mungkin menjadi pelaku, karena kita tidak pernah teredukasi dengan baik mengenai hal ini. Mungkin kita pernah diajari mengenai saling tolong menolong, tapi sejauh mana ktia diajarkan mengenai kesetaraan seksual? Belum lagi doktrin patriarkis yang sudah mengakar didalam masyarakat kita dan merasuki pikiran setiap orang baik itu laki - laki ataupun perempuan. Kita semua adalah anak haram patriarki.

 

 

Aku rasa sudah saatnya kita bangkitkan perhatian bersama pada masalah ini, tidak berlebihan juga jika kita tetapkan #DARURAT PELECEHAN SEKSUAL di skena underground ini. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, pertama - tama adalah dengan melihat ini dalam perhatian yang serius. Milikilah concern, luangkan waktu untuk membaca dan belajar(aku coba bagikan beberapa referensi nanti diakhir tulisan ya), bicarakan topik ini di tongkrongan kalian, jangan terlalu tabu atau menganggap ini sebagai sesuatu yang kaku dan rumit untuk dibahas di tongkrongan. Selain itu sebagai seorang individu, kita masing - masing bisa berusaha menjadi ruang aman bagi teman - teman kita. Luangkan waktu dan energi untuk mendengarkan teman kita, apalagi jika mereka bercerita mengenai perbuatan tidak menyenangkan ataupun pelecehan yang mereka alami. Dengarkan mereka dan tempatkan diri kita di pihak mereka. Belajarlah untuk tidak membuat candaan yang merendahkan jenis kelamin, ekspresi gender, ataupun perilaku seksual. Aku tahu ini akan sangat sulit diawal, tapi tujuan yang baik sangat layak untuk diusahakan.

Untuk penyelenggaraan gigs, aku bisa memahami bahwa memang sulit untuk bisa memantau setiap sudut venue tempat penyelenggaraan gigs. Maka dari itu semestinya ini adalah tugas bersama, tidak hanya panitia, tapi juga penonton, dan juga band yang tampil. Aku tahu ada banyak slogan "Kami bukan rockstar!" yang berulang kali diucapkan oleh band - band underground. BAIKLAAAHH. Sekarang buktikan hal tersebut, luangkan diri untuk terlibat pada banyak aktivitas diluar dari bermusik, jangan cuma fokus upgrade perangkat bermusik dan referensi saja. Jangan cuman ucapkan kalimat standar "Terima kasih udah datang dan nonton, acara ini keren banget, band nya keren banget", tapi bisa mulai suarakan kewaspadaan terhadap pelecehan seksual dari atas panggung. Sembari kita tetap memegang teguh prinsip - prinsip kesetaraan gender, karena menciptakan ruang aman bagi perempuan dan menjauhkannya dari bahaya pelecehan seksual bukan karena kita memandang teman - teman perempuan sebagai sosok lemah yang "harus ditolong". Alih - alih memiliki sudut pandang yang bias gender seperti itu, kita sudah saatnya juga untuk sadar bahwa ada ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan dalam relasi sehari - hari kita. Perempuan yang jatuh saat moshing juga layak mendapat uluran tangan yang sama juga disaat laki-laki yang jatuh saat moshing. Begitu juga sebaliknya.

Untuk panitia ataupun kolektif penyelenggara gigs, aku rasa bisa mulai menyuarakan atau mendiskusikan ini sejak pelaksanaan technical meeting bersama band yang akan tampil. Peringatkan juga untuk kewaspadaan terhadap pelecehan seksual di poster gigs ataupun di caption promo sejak jauh hari sebelum penyelenggaraan gigs. Pada saat penyelenggaraan, jika memang sangat diperlukan maka sebaiknya hidupkan lampu. Aku tahu ini akan terlihat sangat janggal, tapi jika memang ini demi saling menjaga, maka biarlah venue memperoleh pencahayaan yang cukup sehingga kita bisa saling memperhatikan dan menjaga satu sama lain. Untuk tindakan yang lebih serius, sebagaimana kita selalu menyiapkan satu dua orang sebagai tim keamanan untuk memantau jangan sampai ada yang berkelahi di moshpit. Aku rasa tim tersebut juga bisa ditambah jumlahnya dan dilengkapi juga dengan tugas tambahan untuk memantau bilamana ada perilaku mencurigakan yang mengarah kepada pelecehan seksual. Siapkan tempat/ruang/sudut yang aman jika memang ada korban yang melaporkan tindakan pelecehan seksual didalam gigs (ini juga berlaku jika laporan diterima setelah penyelenggaraan gigs selesai). Yang pasti terus waspada dan terus suarakan!

Jika kalian memang merasa ada banyak hal baik dan bermanfaat yang didapat disini, maka semestinya kita juga segera marah jika ada yang melakukan pelecehan di skena ini. Pelaku pelecehan seksual harus disingkirkan dari skena underground. Tidak ada batasan - batasan untuk mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah pelecehan kecil dan yang itu adalah pelecehan yang cukup besar. Pelecehan seksual adalah pelecehan seksual!

                                                                                     

 

 

Referensi :

- https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/02/173747420/banyak-yang-belum-tahu-apa-saja-yang-termasuk-pelecehan-seksual?page=all.

- https://magdalene.co/story/mengenal-definisi-pencabulan-pelecehan-seksual-dan-pemerkosaan

- "Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online-Sebuah Panduan", booklet yang diterbitkan oleh Awas KBGO! dan bisa diunduh gratis di https://awaskbgo.id/

Rabu, 07 September 2022

Liner Notes : LINIMASA - Sekelebat Bisu


Arwork oleh : Desainer Pemalu

Linimasa adalah band yang kutemukan dalam momen tak terduga disaat perayaan Record Store Day(RSD) 2016 di Restoran Ayam Sugeban Pontianak. Pada tahun tersebut sedang ramai serangan "folk" di dunia musik Indonesia. Dan Linimasa merupakan salah satu band yang merilis CD di gelaran RSD Pontianak 2016 saat itu. "Band ape ni bang?", aku bertanya kepada Bang Bian salah seorang rekam satu tim yang turut menggarap RSD Pontianak 2016. "Katenye sih folk", begitu singkat dan kurang yakin Bang Bian menjawab. "Hemmmm, folk lagi, oke folk seperti apa lagi nih", begitu aku merespon jawaban Bang Bian hanya didalam hati. 

Linimasa tampil di acara tersebut selepas break adzan isya, momen diawal malam disaat semua pengunjung yang sudah hadir dari sore dalam kondisi segar entah sehabis menunaikan ibadah sholat ataupun sekedar mengisi perut dan pengunjung lain mulai ramai berdatangan. Aku masih ingat Linimasa tampil dengan konsep dua gitar akustik, satu gitar bass, dan cajon, cukup folk? Tapi bagiku itu tidak penting karena yang benar - benar membuatku terkesan adalah suara sang vokalis, Dika. Dika bernyanyi dengan suara yang bagaikan lirih tapi tidak sedih. Karakter suara sang vokalis bertemu dengan sangat baik dengan permainan kedua gitaris, menghasilkan musik yang lembut tapi tidak membuai manis malah seperti ada kesan sedikit gelap yang tidak suram didalamnya. Kompleksitas seperti itulah yang kutangkap dari penampilan Linimasa saat itu. 

Delapan tahun berlalu, Linimasa kerap tampil di berbagai panggung yang ada di kota Pontianak. Sejujurnya kesan pertama yang pernah hadir sewaktu menyaksikan mereka di RSD Pontianak 2016 tidak pernah terulang, terutama sekali karena mereka berubah format menggunakan gitar elektrik dan drumset dan selain itu juga formasi personil yang berubah - ubah. Kerapkali mereka mengcover lagu band lain yang semakin menegaskan bahwa mereka bukan seperti apa yang mereka tampilkan diawal kemunculannya. Hanya satu yang tak pernah berubah, Dika sang vokalis dan suaranya yang khas. Beberapa hari lalu, Eru (salah satu gitaris mereka yang ada di formasi terbaru) mengirimkan sebuah lagu terbaru dari Linimasa. Sebuah kehormatan karena aku ditunjuk untuk membuat liner notes bagi perilisan single terbaru linimasa. Wahh delapan tahun!! Ada kejutan apa yang akan mereka tampilkan sekarang?

Sepertinya kehadiran Eru, Boteng(bass), serta Andi(drum) memang memberikan pengaruh besar bagi perubahan musik Linimasa. Selain itu sepertinya jarak yang memisahkan Dika yang harus bekerja jauh diujung Kalimantan barat dengan personil lainnya juga berpengaruh pada perubahan musik Linimasa, ya paling tidak sudah jelas jarak yang memisahkan itu juga berpengaruh pada lamanya waktu progress dari band ini. Sekelebat Bisu memberi tahuku bahwa mereka ingin sungguh jadi musik yang berformat full band, bahkan mereka ingin menjadi lebih nge-rock!! Petikan gitar Eru yang terpengaruh sound - sound indie rock bertemu dengan kekuatan pukulan drum dari Andi yang sepertinya ingin mengeluarkan semua kepenatan pekerjaannya diatas kursi drum. Dika sang vokalis tetap memiliki karakter yang khas, ada desahan lirih dalam tiap nada yang dia keluarkan, namun kini sudah beranjak dari suasana cozy ala cafe seperti yang ditampilkan waktu RSD Pontianak 2016 menjadi seorang vokalis karismatik dengan suara yang lebih powerfull diatas panggung besar. 

Kalau aku ulangi  lagi momen 2016 ketika bertanya pada Bang Bian band seperti apa Linimasa itu, sepertinya dia akan dengan yakin menjawab "Alternative Rock!!!" Selamat untuk Linimasa atas buah dari perjalanan selama delapan tahun ini, tolong jangan buat kami menunggu delapan tahun lagi.

Sabtu, 13 Agustus 2022

Review Buku Blok Pembangkang, Kegagalan - Kegagalan di Belakang dan Refleksi Terhadap Skena

 
























Mungkin lima tahun kebelakang kita bisa melihat kebangkitan penerbitan literasi dalam spektrum anarkisme. Jika sebelumnya literatur anarkisme banyak beredar dalam wujud zine ataupun jurnal yang diterbitkan tidak berkala, maka kini kita bisa melihat ada banyak sekali terbitan anarkisme dalam wujud buku. Mulai dari buku terjemahan dari teks - teks anarkisme klasik hingga yang berubah feature bahkan riset sejarah. Ada "Perang Yang Tidak Akan Kita Menangkan", sebuah riset gerakan anarkisme dan sindikalisme pada masa kolonial, lalu ada "Kota Merah Hitam" yang mencatat lintasan waktu anarkisme di kota Semarang, dan yang (mungkin) cukup menghebohkan adalah "Dayak Mardaheka" yang meneliti sejarah masyarakat tanpa negara di pedalaman Kalimantan. Kali ini yang baru saja selesai saya baca adalah buku berjudul "Blok Pembangkang - Gerakan Anarkis di Indonesia 1999-2011" karya Ferdhi F.Putra. Sang penulis adalah seorang peminat kajian anarkisme dan pernah turut serta dalam pengelolaan sebuah website anarkisme berbahasa Indonesia, anarkis.org.

Buku ini adalah pengembangan dari skripsi sarjana penulis yang dibuat sekitaran tahun 2010-2011. Dan sebelas tahun kemudian penerit EA Books menerbitkannya menjadi sebuah buku, tentu saja setelah melalui penulisan ulang dan pengembangan kembali dari Ferdhi F.Putra. 

Membaca buku ini seperti menelusuri kembali tahun - tahun saya mengetahui dan mengenal gerakan anarkisme di Indonesia. Pada saat itu perjumpaan lebih mendalam dengan zine dan kultur DIY didalam komunitas hardcore punk membawa saya kepada berbagai terbitan mandiri yang bertemakan anarkisme seperti Jurnal Apokalips, Jurnal Amorfati, Jurnal Kontinum, Instruktif Zine, Kata Zine, dan lain sebagainya. 

Melalui buku "Blok Pembangkang" kita bisa melihat bagaimana anarkisme mulai muncul menjadi sebuah gerakan yang cukup terorganisir sejak tahun 90an (buku ini mencatat momen Chaos Day tahun 1996 yang dilaksanakan oleh anak - anak punk di Bandung sebagai salah satu titik awalnya). Memang gerakan anarkisme di Indonesia tidak bisa dipungkiri telah hadir sejak masa perjuangan melawan penjajah dalam wujud kelompok - kelompok kecil, individu - indiviud, ataupun beberapa aksi bawah tanah, silahkan baca buku "Perang Yang Tidak Akan Kita Menangkan" dan "Kota Merah Hitam" untuk mengetahui hal ini lebih jauh. Pada tahun 90an awalnya anarkisme mulai dikenali komunitas punk melalui kaset dan CD band luar negeri yang mereka dapatkan, tapi pada saat itu semua hanya sebatas tampilan dan fashion saja. Hingga akhirnya korespondensi dengan teman - teman yang ada diluar Indonesia membuat mereka mendapatkan kiriman banyak buku, pamflet, dan zine yang membahas anarkisme, disitulah mereka mulai belajar. Mengenali hal lain yang terdapat dibalik musik dan lirik yang meneriakkan protes dari band - band punk luar negeri yang pernah mereka dengar. Hasil belajar itu membawa mereka pada rasa ingin tahu yang lebih lagi dan membawa mereka bergabung pada sebuah partai revolusioner yang ada saat itu di Indonesia yaitu PRD (Parta Rakyat Demokratik). Kendati sebetulnya terdapat banyak perbedaan dasar pemikiran antara teman - teman punk yang telah mengenal dan membawa anarkisme sebagai spektrum pemikiran mereka, tapi mereka tetap bertahan demi niat untuk mengenali dan mencari tahu lebih jauh keadaan sosial yang nyata terjadi di Indonesia. Buku ini menuliskan perjalanan anarkisme di Indonesia sejak saat itu dan dinamikanya hingga tahun 2011. Ada kemunculan, ada musim semi, ada benturan, ada kekecewaan, dekonstruksi dan rekonstruksi.


Hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana penulis menuangkan kritik atas dinamika perjalanan anarkisme di Indonesia. Bagaimana kolektif/gerakan dibangun dan beberapa kali gagal karena beberapa hal.  Pada beberapa gerakan kerapkali berhenti karena partisipan yang ada didalamnya harus terbentur dengan urusan - urusan pribadi seperti kesibukan kerja ataupun kuliah. Selain itu juga masalah koordinasi dan disiplin sempat disinggung disini, seperti contohnya pada kegiatan Pekan Anti Otoritarian yang pernah diadakan di Sibolangit-Sumatera Utara. Memang sepertinya ini hal yang wajar karena sering terjadi di berbagai kegiatan. Namun hanya karena hal tersebut terjadi di banyak tempat dan kesempatan bukan berarti hal tersebut adalah sesuatu yang normal dan tidak layak dikritisi. Tentu kita ingin bahwa apapun yang dimulai dapat berakhir hingga tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Selain itu juga, secair apapun sebuah gerakan, organisasi, atau kegiatan tentu saja kita ingin proses yang dijalankan bisa berjalan dengan rapi dan terkoordinasi dengan baik.


Membaca buku ini dan membawaku berefleksi pada aktivitas skena musik. Bagaimana orang - orang pertama kali bertemu dengan sebuah gaya musik tertentu yang didalamnya juga terdapat berbagai macam sikap, perilaku, gaya berpakaian, dan aktivitas komunitas yang semuanya membentuk sebuah subkultur. Seseorang yang berkenalan dengan musik punkrock misalnya, kemudian mencari tahu banyak hal mengenai sejarah dan juga apa saja yang dilakukan oleh band/individu/komunitas terdahulu dan/atau lainnya yang ada di berbagai tempat. Dikemudian hari dalam perjalanannya menikmati dan beraktivitas dalam kegiatan bermusik dan subkultur yang dia gemari tersebut, sangat mungkin berbenturan dengan hal lain yang tidak sesuai dengan apa yang telah dia terima dan yakini sebelumnya. Misalnya sebuah band punkrock yang meyakini etos DIY (Do It Yourself) pada suatu ketika akan berbenturan dengan orang/komunitas lain yang meyakini hal yang berbeda, misalnya terbuka untuk bekerja sama dengan korporasi ataupun organisasi - organisasi politik praktis (partai, calon legislatif, dan lain sebagainya). 

Begitu juga dalam hal pengorganisiran didalam sebuah komunitas musik. Misalnya pengorganisiran sebuah gigs musik. Masalah koordinasi yang rapi dan disiplin adalah dua hal yang penting untuk diperhatikan. Beberapa kali dua hal ini seolah luput dan tertutup oleh tetek bengek lain dalam pengorganisiran gigs musik seperti alat musik, sulit mencari venue, mengkurasi band, mengatur rundown, urusan perizinan baik kepada otoritas kepolisian ataupun warga lokal. Namun tetap disiplin seharusnya adalah hal utama yang dipegang oleh semua orang yang terlibat didalamnya. Mengatur rundown secara detail misalnya, mulai dari urusan loading peralatan hingga susunan band yang tampil. Untuk urusan band yang tampil juga, jika semua orang sadar untuk memegang kedisiplinan, semestinya band tahu misalnya mereka harus siap di venue minimal 1,5 jam sebelum waktu tampil, sudah mempersiapkan segala peralatan yang akan dipakai dibelakang panggung minimal pada saat dua penampil sebelum mereka. Belum lagi, jika mau sungguh - sungguh membuat gigs musik yang ramah dan bisa diakses oleh semua umur dan kalangan, maka harus mempersiapkan tempat yang aman untuk perempuan dan anak, meminimalisir terjadinya pelecehan seksual, dan mempersiapkan peralatan medis sederhana untuk penanganan cepat jika terjadi kecelakaan. Semua ini bukan untuk membuat pengorganisiran gigs musik menjadi lebih ribet dan tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh semua orang, tapi justru untuk memelihara semangat dan kegiatan yang kita semua suka ini. 

Pada akhirnya pengalaman membaca buku ini sangat menyenangkan, bagi yang belum pernah mengenal anarkisme sebelumnya pun aku yakin bisa cukup memahami apa yang sebenarnya terjadi, diyakini, dan diperjuangkan. Apalagi jika buku ini bisa membantu kita merefleksikannya dengan apapun kegiatan yang kita yakini dan sedang kita jalani.